Ketidaksetaraan Gender: Masalah Sosial yang Masih Menghantui Masyarakat Modern

Ketidaksetaraan Gender: Masalah Sosial yang Masih Menghantui Masyarakat Modern


    Dalam buku yang pernah saya baca (ketidaksetaraan gender di Universitas Malikussaleh karya Nanda Amalia,et al.) disebutkan bahwa gender mengacuh pada peran perempuan dan laki-laki yang dikontruksi secara global, dipelajari dan dapat berubah dari waktu ke waktu dan beragam menurut budaya dan antar budaya.  Dalam buku ini dihalaman 1 juga  disebutkan  bahwa gender tidak perlu dipermasalahkan dengan catatan selama tidak terjadi diskriminasi, ketimpangan, dan ketidakadilan, namun untuk kenyataan yang bisa kita lihat di zaman sekarang  mala sebaliknya dimana  sekarang  masih banyak yang menerapkan ketidaksetaraan gender.

    Bahkan Ketidaksetaraan gender, sering  menjadi isu yang dibicarakan dalam berbagai forum global, masih menjadi salah satu masalah sosial yang terus menghantui masyarakat modern. Di tengah kemajuan yang terjadi di berbagai bidang kehidupan, seperti teknologi, pendidikan, dan ekonomi, kesenjangan antara perempuan dan laki-laki dalam banyak aspek kehidupan masih sangat terasa. Meskipun banyak kemajuan telah dicapai dalam beberapa dekade terakhir, ketidaksetaraan gender tetap ada dalam berbagai bentuk—baik itu di dunia kerja, pendidikan, atau bahkan dalam keluarga dan kehidupan sosial sehari-hari. Di banyak tempat, perempuan masih dianggap sebagai pihak yang lebih rendah statusnya dibandingkan laki-laki, baik dari sisi akses terhadap sumber daya, hak suara, maupun pengakuan atas kontribusi mereka. Artikel ini bertujuan untuk mengeksplorasi lebih dalam mengenai ketidaksetaraan gender, faktor-faktor yang mempengaruhi munculnya ketidaksetaraan ini, serta upaya-upaya yang perlu dilakukan untuk mencapainya kesetaraan yang sesungguhnya.

    Secara historis, ketidaksetaraan gender telah menjadi bagian dari struktur sosial yang terbentuk sejak lama. Masyarakat patriarkal, yang menempatkan laki-laki sebagai pemegang kekuasaan dominan, telah lama melanggengkan ketidakadilan terhadap perempuan. Struktur sosial ini tidak hanya terjadi dalam konteks keluarga, tetapi juga merambah ke dunia publik seperti pekerjaan, politik, dan pendidikan. Selama berabad-abad, perempuan dipandang sebagai makhluk kedua, yang hanya memiliki peran terbatas sebagai ibu dan istri. Norma-norma sosial ini mengakar kuat dan diwariskan dari generasi ke generasi, menciptakan budaya di mana perempuan lebih banyak diberi pembatasan daripada kesempatan. Meskipun perubahan sosial telah terjadi, dan perjuangan untuk kesetaraan gender mulai mendapatkan tempat, bahkan ada undang-undang yang menjadi pembela bagi perempuan dalam UU No 7  tahun 1984, tentang pengesahan konvensi mengenai penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan namun bisa kita lihat sendiri bahwa  ketidaksetaraan ini belum sepenuhnya diterapkan dan di indahkan  oleh sebagian orang atau sebagian daerah.

    Salah satu aspek yang paling mencolok dari ketidaksetaraan gender dapat dilihat dalam dunia kerja. Di banyak negara, termasuk negara maju sekalipun, perempuan masih sering kali mendapat gaji yang lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki yang melakukan pekerjaan yang sama. Selain itu, mereka sering kali dihadapkan pada penghalang dalam mencapai posisi-posisi puncak dalam organisasi atau perusahaan. Fenomena yang dikenal dengan istilah "glass ceiling" atau langit-langit kaca menggambarkan batasan-batasan tak terlihat yang membatasi kemajuan karier perempuan. Walaupun perempuan telah banyak memasuki dunia kerja dan menunjukkan kemampuan yang setara dengan laki-laki, mereka sering kali diabaikan dalam promosi atau peluang kepemimpinan. Diskriminasi ini, baik yang bersifat langsung maupun tidak langsung, menunjukkan bahwa meskipun perempuan telah berhasil membuktikan kompetensi mereka, masih ada pandangan bias yang merugikan mereka.

    Dalam dunia pendidikan, ketidaksetaraan gender juga masih terjadi di banyak bagian dunia, meskipun lebih sedikit dibandingkan beberapa dekade lalu. Di banyak negara berkembang, anak perempuan sering kali tidak memiliki akses yang setara dengan anak laki-laki untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Faktor ekonomi, budaya, dan sosial sering menjadi hambatan utama bagi perempuan untuk melanjutkan pendidikan mereka. Dalam banyak kasus, pendidikan perempuan dianggap sebagai prioritas yang lebih rendah, sehingga mereka lebih banyak terhambat untuk mengakses kesempatan pendidikan yang setara dengan laki-laki. Padahal, berbagai penelitian menunjukkan bahwa pemberdayaan perempuan melalui pendidikan tidak hanya meningkatkan kualitas hidup mereka, tetapi juga memberikan dampak positif pada keluarga, komunitas, dan bahkan negara secara keseluruhan.

    Selain itu, ketidaksetaraan gender juga tampak dalam ranah politik dan kekuasaan. Meskipun di beberapa negara telah ada peraturan yang mendorong partisipasi perempuan dalam politik, angka representasi perempuan di posisi-posisi pemerintahan dan lembaga legislatif masih sangat rendah jika dibandingkan dengan laki-laki. Banyak perempuan yang merasa tidak memiliki cukup ruang untuk berpartisipasi aktif dalam politik, karena berbagai alasan—termasuk diskriminasi, norma sosial yang membatasi peran mereka, serta kurangnya dukungan institusional. Hal ini berdampak pada keputusan-keputusan politik yang tidak selalu mencerminkan kebutuhan dan perspektif perempuan. Padahal, kesetaraan gender dalam politik sangat penting untuk menciptakan kebijakan yang lebih inklusif dan adil.

    Di sisi lain, ketidaksetaraan gender juga terlihat jelas dalam kehidupan rumah tangga. Meskipun di banyak negara sudah ada peraturan mengenai pembagian tugas dalam keluarga, di banyak rumah tangga, terutama di negara-negara berkembang, perempuan masih terbebani dengan tugas domestik yang jauh lebih banyak daripada laki-laki. Tanggung jawab untuk merawat anak, mengurus rumah, serta memenuhi kebutuhan keluarga sering kali menjadi beban yang seolah tak terpisahkan dari peran perempuan. Sementara itu, laki-laki, meskipun dapat berbagi tanggung jawab tersebut, sering kali mendapatkan pengakuan sosial yang lebih besar sebagai pencari nafkah utama. Ketidaksetaraan dalam pembagian peran rumah tangga ini memperburuk kesenjangan gender dalam masyarakat, karena perempuan sering kali dipaksa untuk memilih antara mengejar karier atau memenuhi peran tradisional dalam keluarga. Dalam konteks ini, kesetaraan gender tidak hanya membutuhkan perubahan dalam pandangan sosial, tetapi juga dalam cara masyarakat mengatur dan mendukung peran-peran keluarga yang lebih adil.

    Namun, meskipun tantangan besar masih ada, berbagai langkah telah diambil untuk mengurangi ketidaksetaraan gender. Gerakan feminis, misalnya, telah membawa perubahan signifikan dalam berbagai bidang kehidupan. Di banyak negara, perempuan kini memiliki hak suara, hak untuk bekerja, dan hak atas pendidikan yang setara dengan laki-laki. Berbagai kebijakan afirmatif dan peraturan tentang kesetaraan gender juga telah diperkenalkan di berbagai negara untuk mempercepat perbaikan kondisi perempuan. Selain itu, organisasi internasional seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui SDGs (Sustainable Development Goals) telah menempatkan kesetaraan gender sebagai salah satu prioritas utama dalam upaya pembangunan global. Tentu saja, meskipun perubahan-perubahan ini patut diapresiasi, masih banyak pekerjaan yang perlu dilakukan untuk menghilangkan ketidaksetaraan gender sepenuhnya. Perubahan tidak akan tercapai hanya dengan kebijakan formal, tetapi juga dengan transformasi dalam pola pikir dan perilaku masyarakat.

    Penutupan masalah ketidaksetaraan gender memang bukan hal yang mudah, dan membutuhkan upaya kolektif dari seluruh elemen masyarakat. Kesetaraan gender bukan hanya menjadi isu perempuan, tetapi juga menjadi isu bersama yang harus diperjuangkan oleh semua pihak—baik laki-laki maupun perempuan. Kesadaran akan pentingnya kesetaraan gender dalam membangun masyarakat yang adil, sejahtera, dan inklusif perlu terus ditanamkan. Masyarakat modern yang mengedepankan hak asasi manusia dan keadilan sosial harus berkomitmen untuk memerangi ketidaksetaraan gender dengan cara-cara yang lebih konkret dan terukur. Tanpa adanya perubahan yang signifikan dalam cara kita memandang dan memperlakukan satu sama lain, ketidaksetaraan gender akan terus menjadi bayang-bayang gelap yang membatasi potensi manusia dan menghentikan kemajuan sosial yang sesungguhnya. Untuk itu, sudah saatnya bagi kita semua untuk bersama-sama berusaha mengatasi ketidaksetaraan gender demi masa depan yang lebih baik dan setara bagi semua.

Lebih baru Lebih lama