Dilema Pelacuran: Pilihan, Keterpaksaan, atau Hak Asasi?

 Dilema Pelacuran: Pilihan, Keterpaksaan, atau Hak Asasi? 


    Dalam suatu kesempatan perkuliahan kami pernah membahas tentang pelacuran dalam matakuliah patologi sosial dengan Bapak Ali Amran S.Ag., M.Si yang juga disebutkan oleh Kartini Kartono dalam buku patologi sosial bahwa pelacuran merupakan peristiwa penjualan diri dengan cara memperjualbelikan badan, kehormatan, dan kepribadian kepada banyak orang untuk memuaskan nafsu-nafsu seks dengan imbalan pembayaran. dan saya juga pernah membaca hal serupa terkait hal ini dalam buku pelacuran ditinjau dari segi hukum dan kenyataan dalam masyarakat karya Soedjono di halaman 44 yaitu: menyatakan bahwa pelacuran merupakan gejala sosial yang seolah-olah langgeng di jaman sekarang. 

    Pelacuran telah menjadi salah satu topik yang memancing perdebatan moral, sosial, dan hukum sejak lama. Dalam berbagai masyarakat, keberadaan pelacuran kerap dipandang sebagai suatu ironi; di satu sisi, aktivitas ini dikenal sebagai "profesi tertua di dunia," namun di sisi lain, pelacuran sering diselimuti stigma, eksploitasi, dan permasalahan hukum. Diskursus tentang pelacuran tidak hanya berputar pada aspek moral dan budaya, tetapi juga menyentuh dimensi ekonomi, hak asasi manusia, dan gender. Sebuah pertanyaan yang terus mengemuka adalah apakah pelacuran merupakan pilihan bebas individu, hasil dari keterpaksaan karena situasi ekonomi atau sosial, ataukah sebuah hak yang seharusnya dilindungi oleh hukum? Pertanyaan ini menjadi semakin rumit di tengah perubahan sosial yang dipengaruhi oleh globalisasi, teknologi, dan kesadaran akan hak-hak pekerja seks.

    Dalam konteks pilihan, ada argumen bahwa pelacuran adalah keputusan individu yang dilandasi oleh kebebasan personal. Beberapa pekerja seks mengklaim bahwa mereka memilih profesi ini secara sadar karena menawarkan peluang ekonomi yang lebih baik dibandingkan pekerjaan lain, terutama bagi mereka yang kurang memiliki akses pendidikan atau keterampilan formal. Dalam hal ini, pelacuran dipandang sebagai bentuk pemberdayaan diri, terutama bagi perempuan yang menghadapi kendala sosial yang seringkali menghambat mereka untuk mendapatkan pekerjaan yang layak. Perspektif ini didukung oleh gerakan yang memperjuangkan hak pekerja seks sebagai profesi yang sah, yang melibatkan jaminan keamanan, kesehatan, dan perlindungan dari kekerasan atau diskriminasi. Namun, argumen ini sering kali mendapat tantangan dari kelompok yang menganggap bahwa kebebasan memilih dalam pelacuran tidak benar-benar murni, melainkan dipengaruhi oleh tekanan sosial dan ekonomi yang mendalam.

    Di sisi lain, banyak pihak berpendapat bahwa pelacuran sering kali berakar pada keterpaksaan. Tidak sedikit pekerja seks yang memasuki dunia ini karena kemiskinan, kurangnya kesempatan kerja, atau bahkan korban perdagangan manusia. Dalam banyak kasus, pelacuran bukanlah hasil dari kebebasan individu, melainkan konsekuensi dari situasi yang tidak memberikan pilihan lain. Organisasi internasional seperti PBB telah menunjukkan bahwa perdagangan manusia untuk tujuan eksploitasi seksual adalah masalah global yang serius, dengan jutaan perempuan dan anak-anak menjadi korban setiap tahun. Keterpaksaan ini seringkali diperparah oleh sistem sosial yang patriarkis, di mana perempuan lebih rentan menjadi objek eksploitasi dan kekerasan. Perspektif ini menekankan pentingnya memahami konteks struktural yang menyebabkan seseorang terjerumus dalam dunia pelacuran dan menyerukan pendekatan yang lebih manusiawi untuk menangani isu ini, termasuk pemberdayaan ekonomi dan akses terhadap pendidikan.

    namun tanpa disadari banyak sekali undang-undang yang mengatur tentang pelacuran di indonesia seperti UU no 44 tahun 2008 tentang pornografi pasal 30,33 dan 35 mengatur tentang sanksi pidana penjara dan denda bagi pelaku prostitusi online. dan pada pasal 422 KUHP juga mengatur tentang pidana penjara bagi orang yang menggerakkan, membawa, menempatkan, atau menyerahkan anak kepada orang lain untuk melakukan pelacuran. dan masih banyak lagi undang-undang yang mengatur tentang pelacuran. bisa kita lihat banyak sekali kasus yang sudah terjadi khususnya di Indonesia. namun bisa kita bayangkan bahwa dalam hukum di negara saja sudah banyak mengatur tentang pelacuran dan dalam Al Qur'an Allah SWT juga benyak berfirman tentang zina atau pelacuran seperti dalam surah Al Isra' ayat 17 namun sayang nya kasus seperti ini masih sering terjadi.  

    Namun, pendekatan yang melihat pelacuran sebagai hak asasi manusia menawarkan sudut pandang yang berbeda. Pendukung pendekatan ini berpendapat bahwa pekerja seks memiliki hak untuk bekerja di bidang apa pun yang mereka pilih, termasuk pelacuran, selama mereka melakukannya secara sukarela. Dalam perspektif ini, pelacuran adalah bentuk otonomi tubuh yang seharusnya dihormati, bukan dikendalikan oleh norma sosial atau kebijakan negara. Di beberapa negara seperti Belanda dan Jerman, pelacuran telah dilegalkan dan diatur, memberikan pekerja seks perlindungan hukum serta akses terhadap layanan kesehatan dan jaminan sosial. Pendekatan ini dianggap dapat mengurangi stigma, kekerasan, dan risiko kesehatan yang sering dihadapi oleh pekerja seks. Namun, legalisasi pelacuran juga menghadapi kritik karena dianggap dapat melegitimasi eksploitasi dan memperbesar industri perdagangan manusia.

    Ketiga perspektif ini menunjukkan bahwa pelacuran bukanlah fenomena yang dapat dipahami secara sederhana. Di Indonesia, pelacuran menghadirkan tantangan yang unik karena budaya, agama, dan hukum yang berlaku. Meski secara hukum pelacuran dianggap ilegal, kenyataannya aktivitas ini tetap berlangsung secara luas, baik secara terbuka di lokalisasi maupun secara terselubung melalui media online. Kebijakan yang bersifat represif seringkali hanya meminggirkan pekerja seks ke area-area yang lebih rentan terhadap kekerasan dan eksploitasi. Penutupan lokalisasi, misalnya, kerap dianggap sebagai solusi untuk menghapus pelacuran, tetapi dampaknya justru mempersulit akses pekerja seks terhadap layanan kesehatan dan perlindungan hukum. Di sisi lain, penanganan pelacuran di Indonesia juga dipengaruhi oleh norma-norma agama yang menekankan moralitas, sehingga sulit untuk mendiskusikan topik ini secara terbuka tanpa melibatkan stigma.

    Dilema ini menuntut pendekatan yang lebih komprehensif dan manusiawi dalam memahami dan menangani pelacuran. Alih-alih melihat pelacuran hanya sebagai masalah moral atau hukum, penting untuk mengakui bahwa pelacuran mencakup berbagai aspek sosial, ekonomi, dan budaya yang saling terkait. Penanganan yang efektif memerlukan kolaborasi antara pemerintah, masyarakat, dan organisasi internasional untuk menciptakan lingkungan yang mendukung pilihan hidup yang lebih baik bagi setiap individu. Ini mencakup pemberdayaan ekonomi, pendidikan, serta akses terhadap layanan kesehatan dan perlindungan hukum. Selain itu, penting untuk mengurangi stigma terhadap pekerja seks dan mendengarkan suara mereka dalam diskusi kebijakan. Pekerja seks adalah bagian dari masyarakat yang hak-haknya harus dihormati, terlepas dari pandangan pribadi tentang pelacuran.

    Pada akhirnya, diskusi tentang pelacuran tidak akan pernah mudah atau selesai dalam waktu singkat. Ini adalah topik yang penuh kompleksitas, menyentuh nilai-nilai fundamental tentang kebebasan, keadilan, dan martabat manusia. Meskipun pandangan masyarakat terhadap pelacuran berbeda-beda, penting untuk terus berupaya menciptakan dunia di mana tidak ada seorang pun yang dipaksa atau dieksploitasi dalam bentuk apa pun. Pelacuran mungkin akan selalu ada dalam berbagai bentuk, tetapi bagaimana masyarakat menanggapinya akan menentukan apakah kita bergerak menuju keadilan sosial yang lebih besar atau tetap terjebak dalam lingkaran stigma dan ketidakpedulian. Di tengah semua perdebatan ini, yang paling utama adalah memastikan bahwa hak dan martabat setiap individu tetap dihormati, apa pun pilihan atau keadaan hidup mereka.

Lebih baru Lebih lama