Sejarah Kebudayaan Batak

 
Artikel tentang sejarah kebudayaan batak
Oleh : nur hasanah hasibuan

keberadaan etnis Mandailing dan suku Batak di Sumatera Utara mengingat struktur sosial di Sumatera Utara (Sumut) yang begitu kompleks. Meski banyak suku, agama, bahasa, adat istiadat, dan sub etnis maupun golongan, masyarakat Sumut tetap hidup rukun dan menjadi miniaturnya Indonesia. Secara garis besar, Mandailing adalah salah satu suku yang banyak ditemui di utara Pulau Sumatera atau lebih spesifik berada di selatan Provinsi Sumut. Suku ini memiliki ikatan darah, nasab, bahasa, aksara, sistem sosial, kesenian, adat, dan kebiasaan tersendiri yang berbeda dengan Batak dan Melayu. Generalisasi kata Batak terhadap etnis Mandailing umumnya tak dapat diterima oleh keturunan asli wilayah itu. Meski sebagian masih mengakui dirinya bagian dari suku Batak. Abdur-Razzaq Lubis dalam bukunya “Mandailing-Batak-Malay: A People Defined and Divided. In: 'From Palermo to Penang: A Journey into Political Anthropology', University of Fribourg, 2010, mengemukakan, bahwa penjajahan Belanda di Sumatera menyebabkan Mandailing menjadi bagian dari Suku Batak berdasarkan aturan irisan yang dibuat untuk mengklasifikasi dan membuat tipologi. Akibatnya Suku Mandailing melebur menjadi satu yang dinamai Suku Batak Mandailing di Indonesia dan Suku Melayu Mandailing di Malaysia. Mengenai sejarah Mandailing, M Dolok Lubis dalam Bukunya “Mandailing; Sejarah, Adat dan Arsitektur Mandailing” menjelaskan bahwa keberadaan Mandailing sudah diperhitungkan sejak abad ke-14 dengan dicantumkannya nama Mandailing dalam sumpah Palapa Gajah Mada pada syair ke-13 Kakawin Negarakertagama hasil karya Prapanca sebagai daerah ekspansi Majapahit sekitar tahun 1287 Caka (1365) ke beberapa wilayah di luar Jawa. Berabad sebelum Prapanca, di Mandailing telah tumbuh masyarakat berbudaya tinggi (berdasarkan catatan sejarah serangan Rajendra Cola dari India pada tahun 1023 M ke Kerajaan Panai) di hulu sungai Barumun atau di sepanjang aliran sungai Batang Pane mulai dari Binanga, Portibi di Gunung Tua hingga lembah pegunungan Sibualbuali di Sipirok. Hal ini ditandai dengan adanya masyarakat bermarga pane di Sipirok, Angkola dan Mandailing. Budayawan Mandailing, Z Pangaduan lubis dalam bukunya ‘Kisah Asal-usul Marga di Mandailing’. Nama Mandailing disebut berasal dari kata Mandehilang (bahasa Minangkabau, artinya ibu yang hilang). Kata Mundahilang, kata Mandalay (nama kota di Burma) dan kata Mandala Holing (nama kerajaan di Portibi, Gunung Tua) Munda adalah nama bangsa di India Utara, yang menyingkir ke Selatan pada tahun 1500 SM karena desakan Bangsa Aria. Sebagian bangsa Munda masuk ke Sumatera melalui pelabuhan Barus di Pantai Barat Sumatera. Mandailing memiliki riwayat asal usul marga yang diyakini berawal sejak abad ke-9 atau ke-10. Mayoritas marga yang ada di Mandailing adalah Lubis dan Nasution. Nenek Moyang Marga Lubis yang bernama Angin Bugis berasal dari Sulawesi Selatan. Angin Bugis atau Sutan Bugis berlayar dan menetap di Hutapanopaan (sekarang Kotanopan) dan mengembangkan keturunannya, sampai pada anak yang bergelar Namora Pande Bosi III. Marga Hutasuhut adalah generasi berikutnya dari keturunan Namora Pande Bosi III, yang berasal dari ibu yang berbeda dan menetap di daerah Guluan Gajah. Marga Harahap dan Hasibuan juga merupakan keturunan Namora Namora Pande Bosi III yang menetap di daerah Portibi, Padang Bolak. Marga Pulungan berasal dari Sutan Pulungan, yang merupakan keturunan ke lima dari Namora Pande Bosi dengan istri pertamanya yang berasal dari Angkola. Sedangkan pembawa marga Nasution adalah Baroar Nasakti, anak hasil pernikahan antara Batara Pinayungan (dari kerajaan Pagaruyung) dengan Lidung Bulan (adik perempuan Sutan Pulungan) yang menetap di Penyabungan Tonga. Moyang Marga Rangkuti dan Parinduri adalah Mangaraja Sutan Pane yang berasal dari kerajaan Panai, Padang Lawas. Keturunan Sutan Pane, Datu Janggut Marpayung Aji dijuluki ‘orang Nan Ditakuti’, dan berubah menjadi Rangkuti yang menetap di Huta Lobu Mandala Sena (Aek Marian). Keturunan Datu Janggut Marpayung Aji tersebar ke beberapa tempat dan salah satunya ke daerah Tamiang, membawa marga Parinduri. Nenek moyang marga Batubara, Matondang dan Daulay bernama Parmato Sopiak dan Datu Bitcu Rayo (dua orang pemimpin serombongan orang Melayu) berasal dari Batubara, Asahan. Selain masyarakat bermarga, daerah Mandailing telah didiami tiga suku lainnya, jauh sebelum abad ke-10, yaitu Suku Sakai, Suku Hulu Muarasipongi dan suku Lubu Siladang. Suku Sakai bermukim di hulu-hulu sungai kecil, dan beberapa juga ditemukan di daerah Dumai dan Duri (Riau) serta Malaysia. Suku Hulu Muarasipongi diduga berasal dari Riau, sedangkan bahasa dan adatnya, mirip dengan bahasa dan adat Riau serta Padang Pesisir. Suku Lubu Siladang bermukim di lereng Gunung Tor Sihite, bahasa dan adatnya berbeda dengan bahasa dan adat Mandailing dan Melayu. Pendapat lain menyebutkan bahwa suku Mandailing di Sumut lahir di bawah pengaruh Kaum Padri yang memerintah Minangkabau di Tanah Datar. Hasilnya, suku ini dipengaruhi oleh budaya Islam. Suku ini juga tersebar di Malaysia, tepatnya di Selangor dan Perak. Suku ini juga memiliki keterkaitan dengan Suku Angkola (Tapanuli Selatan). Seperti kebanyakan masyarakat di dunia, masyarakat Mandailing adalah patrilineal, yaitu mengikuti nasab keturunan ayah. Karena itu, hanya laki-laki saja bisa menyambung marga orang tuanya. Home Nusantara Sumatera Utara Sumatera Selatan Jabar Jateng & DIY Jatim Makassar Manado Batam Indeks Home Cerita Pagi Asal Asul Mandailing, Sejarah dan Kebesaran Marga-marga Rusman Siregar Senin, 27 November 2017 - 05:00 WIB Asal Asul Mandailing, Sejarah dan Kebesaran Marga-marga A A A MANDAILING kini ramai diperbincangkan publik menyusul pernikahan puteri Presiden RI Joko Widodo (Jokowi), Kahiyang Ayu dengan Bobby Nasution, pemuda kelahiran Medan yang berasal dari etnis Mandailing. Apa itu Mandailing dan bagaimana asal-usul marga yang dimilikinya? Cerita Pagi kali ini akan mengulasnya dari beberapa sumber dan literatur sejarah. Penulis tidak bermaksud untuk membuka polemik terkait keberadaan etnis Mandailing dan suku Batak di Sumatera Utara mengingat struktur sosial di Sumatera Utara (Sumut) yang begitu kompleks. Meski banyak suku, agama, bahasa, adat istiadat, dan sub etnis maupun golongan, masyarakat Sumut tetap hidup rukun dan menjadi miniaturnya Indonesia. Secara garis besar, Mandailing adalah salah satu suku yang banyak ditemui di utara Pulau Sumatera atau lebih spesifik berada di selatan Provinsi Sumut. Suku ini memiliki ikatan darah, nasab, bahasa, aksara, sistem sosial, kesenian, adat, dan kebiasaan tersendiri yang berbeda dengan Batak dan Melayu. Generalisasi kata Batak terhadap etnis Mandailing umumnya tak dapat diterima oleh keturunan asli wilayah itu. Meski sebagian masih mengakui dirinya bagian dari suku Batak. Abdur-Razzaq Lubis dalam bukunya “Mandailing-Batak-Malay: A People Defined and Divided. In: 'From Palermo to Penang: A Journey into Political Anthropology', University of Fribourg, 2010, mengemukakan, bahwa penjajahan Belanda di Sumatera menyebabkan Mandailing menjadi bagian dari Suku Batak berdasarkan aturan irisan yang dibuat untuk mengklasifikasi dan membuat tipologi. Akibatnya Suku Mandailing melebur menjadi satu yang dinamai Suku Batak Mandailing di Indonesia dan Suku Melayu Mandailing di Malaysia. Mengenai sejarah Mandailing, M Dolok Lubis dalam Bukunya “Mandailing; Sejarah, Adat dan Arsitektur Mandailing” menjelaskan bahwa keberadaan Mandailing sudah diperhitungkan sejak abad ke-14 dengan dicantumkannya nama Mandailing dalam sumpah Palapa Gajah Mada pada syair ke-13 Kakawin Negarakertagama hasil karya Prapanca sebagai daerah ekspansi Majapahit sekitar tahun 1287 Caka (1365) ke beberapa wilayah di luar Jawa. Berabad sebelum Prapanca, di Mandailing telah tumbuh masyarakat berbudaya tinggi (berdasarkan catatan sejarah serangan Rajendra Cola dari India pada tahun 1023 M ke Kerajaan Panai) di hulu sungai Barumun atau di sepanjang aliran sungai Batang Pane mulai dari Binanga, Portibi di Gunung Tua hingga lembah pegunungan Sibualbuali di Sipirok. Hal ini ditandai dengan adanya masyarakat bermarga pane di Sipirok, Angkola dan Mandailing. Budayawan Mandailing, Z Pangaduan lubis dalam bukunya ‘Kisah Asal-usul Marga di Mandailing’. Nama Mandailing disebut berasal dari kata Mandehilang (bahasa Minangkabau, artinya ibu yang hilang). Kata Mundahilang, kata Mandalay (nama kota di Burma) dan kata Mandala Holing (nama kerajaan di Portibi, Gunung Tua) Munda adalah nama bangsa di India Utara, yang menyingkir ke Selatan pada tahun 1500 SM karena desakan Bangsa Aria. Sebagian bangsa Munda masuk ke Sumatera melalui pelabuhan Barus di Pantai Barat Sumatera. Mandailing memiliki riwayat asal usul marga yang diyakini berawal sejak abad ke-9 atau ke-10. Mayoritas marga yang ada di Mandailing adalah Lubis dan Nasution. Nenek Moyang Marga Lubis yang bernama Angin Bugis berasal dari Sulawesi Selatan. Angin Bugis atau Sutan Bugis berlayar dan menetap di Hutapanopaan (sekarang Kotanopan) dan mengembangkan keturunannya, sampai pada anak yang bergelar Namora Pande Bosi III. Marga Hutasuhut adalah generasi berikutnya dari keturunan Namora Pande Bosi III, yang berasal dari ibu yang berbeda dan menetap di daerah Guluan Gajah. Marga Harahap dan Hasibuan juga merupakan keturunan Namora Namora Pande Bosi III yang menetap di daerah Portibi, Padang Bolak. Marga Pulungan berasal dari Sutan Pulungan, yang merupakan keturunan ke lima dari Namora Pande Bosi dengan istri pertamanya yang berasal dari Angkola. Sedangkan pembawa marga Nasution adalah Baroar Nasakti, anak hasil pernikahan antara Batara Pinayungan (dari kerajaan Pagaruyung) dengan Lidung Bulan (adik perempuan Sutan Pulungan) yang menetap di Penyabungan Tonga. Moyang Marga Rangkuti dan Parinduri adalah Mangaraja Sutan Pane yang berasal dari kerajaan Panai, Padang Lawas. Keturunan Sutan Pane, Datu Janggut Marpayung Aji dijuluki ‘orang Nan Ditakuti’, dan berubah menjadi Rangkuti yang menetap di Huta Lobu Mandala Sena (Aek Marian). Keturunan Datu Janggut Marpayung Aji tersebar ke beberapa tempat dan salah satunya ke daerah Tamiang, membawa marga Parinduri. Nenek moyang marga Batubara, Matondang dan Daulay bernama Parmato Sopiak dan Datu Bitcu Rayo (dua orang pemimpin serombongan orang Melayu) berasal dari Batubara, Asahan. Selain masyarakat bermarga, daerah Mandailing telah didiami tiga suku lainnya, jauh sebelum abad ke-10, yaitu Suku Sakai, Suku Hulu Muarasipongi dan suku Lubu Siladang. Suku Sakai bermukim di hulu-hulu sungai kecil, dan beberapa juga ditemukan di daerah Dumai dan Duri (Riau) serta Malaysia. Suku Hulu Muarasipongi diduga berasal dari Riau, sedangkan bahasa dan adatnya, mirip dengan bahasa dan adat Riau serta Padang Pesisir. Suku Lubu Siladang bermukim di lereng Gunung Tor Sihite, bahasa dan adatnya berbeda dengan bahasa dan adat Mandailing dan Melayu. Pendapat lain menyebutkan bahwa suku Mandailing di Sumut lahir di bawah pengaruh Kaum Padri yang memerintah Minangkabau di Tanah Datar. Hasilnya, suku ini dipengaruhi oleh budaya Islam. Suku ini juga tersebar di Malaysia, tepatnya di Selangor dan Perak. Suku ini juga memiliki keterkaitan dengan Suku Angkola (Tapanuli Selatan). Budayawan Mandailing-Angkola Basyral Hamidy Harahap mengemukakan, umumnya nenek moyang Mandailing merantau ke Semenanjung karena Perang Padri (1816-33). Ada yang menuntut ilmu agama, berniaga, membuka huta harajoan (beraja) yang baru, membawa diri kerana perselisihan paham di kalangan keluarga atau menghindarkan penjajahan Belanda. Seperti kebanyakan masyarakat di dunia, masyarakat Mandailing adalah patrilineal, yaitu mengikuti nasab keturunan ayah. Karena itu, hanya laki-laki saja bisa menyambung marga orang tuanya. Sebagaimana orang Arab dan China, orang Mandailing mempunyai pengetahuan mengenai silsilah mereka sampai beberapa keturunan sekaligus riwayat nenek moyang mereka.Bagi orang Batak, sangat penting untuk mengetahui asal-usul atau dari keturunan mana orang tersebut berasal.

Untuk mengetahui hal ini Suku Batak menggunakan Tarombo atau silsilah garis keturunan.

Dengan menggunakan Tarombo, maka akan diketahui dari garis keturunan mana seseorang berasal dan bagaimana posisinya pada marga tersebut serta dapat dirunutkan juga asal-usul keturunan orang tersebut hingga sampai pada si Raja Batak.

 Struktur Adat dan Sistem Sosial Dalam pelaksanaan adat dan hukum adatnya, Mandailing menggunakan satu struktur sistem adat yang disebut Dalihan Natolu (tungku yang tiga). Masyarakat Mandailing menganut sistem sosial yang terdiri atas Kahanggi, (kelompok orang semarga), Mora (kelompok kerabat pemberi anak gadis) dan Anak Boru (kelompok kerabat penerima anak gadis). Ketiga unsur ini senantiasa selalu bersama dalam setiap pelaksanaan kegiatan adat, seperti Horja (pekerjaan/pesta), yaitu tiga jenis yaitu, (1) Horja Siriaon adalah kegiatan kegembiraan meliputi upacara kelahiran (tubuan anak), memasuki rumah baru (Marbongkot bagas na imbaru) dan mengawinkan anak (haroan boru); (2) Horja Siluluton (upacara Kematian) dan (3) Horja Siulaon (gotong royong). Sistem pemerintahan di Mandailing, sebelum datangnya Belanda merupakan pemerintahan yang dipimpin oleh pengetua-pengetua adat. Yaitu raja dan Namora Natoras sebagai pemegang kekuasaan dan adat. Raja di Mandailing terdiri atas beberapa jenis, yaitu Panusunan (raja tertinggi), Ihutan (di bawah Panusunan), Pamusuk (raja satu huta, tunduk pada Panusunan dan Pamusuk), Sioban Ripe (di bawah raja Pamusuk) dan Suhu (di bawah Pamusuk dan Sioban Ripe, tetapi tidak terdapat di semua Huta. 

          Rumah Adat Suku Batak
Rumah adat Suku Batak dinamakan Rumah Bolon. Rumah Bolon bila diartikan dalam bahasa Indonesia berarti “rumah besar” yang merupakan suatu penggambaran dari rumah Bolon yang memang berukuran besar yaitu memiliki panjang sekitar 10-20 meter.

Dilihat dari jenisnya, rumah Bolon termasuk ke dalam jenis rumah panggung dengan ketinggian dua meter dimana baik penyangga atau pun dindingnya terbuat dari kayu.

Keunikan rumah Bolon terletak pada dindingnya yang miring, dimana semakin ke atas akan semakin lebar. Serta pada bagian atas dinding dihiasi oleh ornamen ukiran khas Sumatera utara. Selain itu Keunikan lainnya adalah anak tangga yang dibuat untuk menuju pintu masuk dibuat dalam jumlah yang selalu ganjil.

Falsafah Hidup Orang Batak
Sama seperti suku lainnya di Indonesia, Suku Batak juga memiliki pandangan hidup atau falsafah yang digunakan sebagai pedoman hidup serta berfungsi untuk mengontrol perilaku masyarakatnya. Adapun beberapa falsafah dari Suku Batak antara lain.

Hagabeon, merupakan harapan untuk memiliki keturunan yang baik dan panjang umur, karena pada suku Batak banyaknya keturunan merupakan tanda keberhasilan suatu pernikahan.

Uhum dan Ugari, uhum artinya “hukum” dan ugari artinya “kebiasaan”. Dengan demikian falsafah ini memiliki arti, pada Suku Batak penting untuk menegakkan hukum dan membiasakan diri untuk berbuat baik dan setia dalam memegang janji

Hamoraon, falsafah yang satu ini bermakna kehormatan. Kehormatan di sini artinya keseimbangan antara materi dan spiritual. Untuk mencapai Hamoraon, orang Batak harus memenuhi dua aspek ini.

Pengayoman, falsafah yang satu ini Memiliki makna agar orang Batak senantiasa dapat menjadi pelindung atau pengayom bagi orang lain. Oleh karenanya, orang Batak harus mandiri dan tidak bergantung pada orang lain.

Marsisarian, Marsisarian adalah nilai kehidupan suku Batak yang senantiasa menghargai perbedaan dalam menjalani kehidupan bermasyarakat, bahwasanya meski perbedaan itu ada orang Batak harus terap menciptakan hubungan yang harmonis.

Kekerabatan, tak dapat dipungkiri, nilai kehidupan yang satu ini merupakan yang paling melekat dan menjadi identitas orang Batak. Dimana orang Batak dikenal selalu menjaga erat tali persaudaraan antara sub suku baik di kampung halaman atau pun saat merantau sekalipun.

Tradisi dan Kebudayaan Suku Batak

Tradisi Mangulosi
Salah satu tradisi dari Suku Batak adalah Mangulosi. Mangulosi merupakan acara pemberian kain tenun khas Batak yaitu kain Ulos oleh sosok yang dituakan atau disebut dengan hula-hula. Bagi Suku Batak, kain Ulos sendiri dipercaya dapat memberi perlindungan dari segala cuaca dan kondisi. Sehingga diharapkan orang yang menerima kain Ulos bisa memperoleh perlindungan tersebut.

Tari Tor-tor
Tari Tor-tor merupakan tari khas Sumatera Utara lebih tepatnya tari tradisional dari Suku Batak. Tari ini biasa dipentaskan pada berbagai acara seperti upacara adat dan keagamaan, pernikahan ataupun penyambutan tamu.

Sebagai pengiring biasanya akan dimainkan alat musik berupa gamelan khas Batak yang disebut dengan Lima Taganing.

Merantau
Mirip dengan Suku Minangkabau, Suku Batak juga memiliki tradisi merantau. Tradisi ini berlaku untuk anak laki-laki yang menginjak usia dewasa dimana mereka diharuskan untuk merantau dan belajar untuk bekerja dan hidup mandiri.

Bahkan pada masa lampau, para pemuda yang merantau tidak diperbolehkan untuk kembali ke kampung halaman sebelum sukses atau mengumpulkan banyak harta.

Pakaian adat Batak Mandailing juga hampir serupa dengan Batak Toba yaitu menggunakan kain ulos.

Perbedaan yang paling terlihat ada pada kain ulos yang dililitkan pada bagian tengah badan, juga pada hiasan kepala pada pria dan wanita.

Hiasan kepala pria Batak Mandailing memiliki bentuk khas dan berwarna hitam yang disebut ampu.

Sementara untuk wanita hiasan kepala disebut bulang yang diikatkan ke kening.

Bulang tersebut terbuat dari emas, tetapi sekarang sudah banyak yang terbuat dari logam dengan sepuhan emas.

Bulang mengandung makna sebagai lambang kebesaran atau kemuliaan sekaligus sebagai simbol dari struktur masyarakat.
Lebih baru Lebih lama